Beranda | Artikel
Perang Uhud (2)
Selasa, 15 April 2014

PERANG UHUD

Setelah bermusyawarah dengan para shahabat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan untuk menyambut serangan kaum kuffar Makkah dan sekitarnya diluar Madinah. Sebelum berangkat, Rasulullah membagi pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tiga regu dan masing-masing diberi bendera. Bendera regu Muhajirin diserahkan kepada Mush’ab bin Umar Radhiyallahu anhu yang selanjutnya diganti oleh Ali bin Abu Thâlib setelah Mush’ab Radhiyallahu anhu wafat sebagai syahid di medan tempur, bendera Aus dibawa oleh Usaid bin Hudhair sementara satu bendera lagi yaitu bendera Khazraj dipercayakan kepada al Habbab bin al Mundzir Radhiyallahu anhu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Madinah pada hari Jum’at disertai dengan seribu pasukan. Diantara mereka ada 100 orang yang mengenakan baju besi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pada saat itu mengenakan dua lapis baju besi.[1] Sebelum meninggalkan Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan amanah kepada Abdullah bin Ummi Maktûm untuk mengimami shalat kaum muslimin di Madinah.

Ketika sudah melewati bukit Wadâ’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok orang yang bersenjata lengkap. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa mereka ?” Para shahabat menjawab : “Itu adalah Abdullah bin Ubay ibnu Salul beserta teman-temannya orang-orang Yahudi Bani Qainuqâ’, kelompoknya Abdullah bin Salam yang berjumlah enam ratus. Mereka” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi : “Apakah mereka sudah memeluk agama Islam ?” Para shahabat menjawab : “Tidak, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suruhlah mereka pulang ! kita tidak akan minta bantuan kepada orang-orang musyrik dalam rangka menghadapi orang-orang musyrik juga.”[2] Jika riwayat ini benar, berarti pengusiran terhadap Bani Qainuqâ’ itu terjadi setelah perang Uhud.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di as-Syauth (nama tempat), tokoh munafik Abdullah bin Ubay ibnu Salul diikuti oleh tiga ratus munafik lainnya membelot, kembali dan tidak mau ikut berperang. Mereka beralasan bahwa peperangan tidak akan terjadi. Pembelotan ini juga sebagai bentuk protes terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memutuskan untuk menyambut kedatangan musuh di luar Madinah.[3] Dalam merespon tindakan buruk yang dilakukan orang-orang munafik ini, para shahabat terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok memandang agar kaum muslimin menyerang dan memberi pelajaran kepada orang-orang munafik ini sementara satu kelompok lagi memandang tidak perlu menyerang mereka. lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Maka mengapa kalian (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah Telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? [an-Nisa’/4:88][4]

Menyaksikan pembelotan Abdullah bin Ubay ibnu Salul ini, Abdullah bin ‘Amr bin Harâm Radhiyallahu anhu menyusul mereka hendak mengingatkan agar kembali dan bergabung dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun uapaya ini gagal dan mereka tetap menolak. Akhirnya, Abdullah bin ‘Amr bin Harâm Radhiyallahu anhu geram dan mengatakan : “Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kalian dari rahmat-Nya, wahai musuh-musuh Allah ! Allah Azza wa Jalla pasti akan menjadikan nabi-Nya tidak butuh pada kalian.” Isyarat tentang dialog ini terdapat dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ﴿١٦٦﴾وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ نَافَقُوا ۚ وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ ادْفَعُوا ۖ قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ ۗ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ ۚ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ

Dan apa yang menimpa kalian pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman. Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)”. mereka berkata: “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu” Pada hari itu, mereka lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. [Ali Imrân/3:166-167][5]

Ketika itu, Bani salamah dari suku Khazraj dan Bani Hâritsah dari suku Aus hampir saja ikut mundur dan bergabung bersama orang-orang munafik, namun Allah Azza wa Jalla memberikan mereka keteguhan hati untuk tetap bertahan dengan kaum Muslimin. Tentang mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal hanya kepada Allah [Ali Imrân/3:122][6]

Rasulullah beserta kaum Muslimin terus melanjutkan perjalanan. Ketika tiba di daerah Syaikhân[7] , mereka beristirahat dan bermalam disana. Disinilah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada beberapa pemuda untuk kembali dan tidak memperkenankan mereka ikut terjun ke medan tempur. Hal ini disebabkan karena usia mereka yang masih terlalu muda, yaitu masih berusia empat belas tahun kebawah. Diantara mereka yang disuruh pulang adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsâbit, Usâmah bin Zaid, Nu’mân bin Basyîr, Zaid bin Arqam, Barrâ’ bin ‘âzib dan lain-lain[8] , termasuk diantara yang ditolak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma[9] . Jumlah anak-anak muda yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk kembali ini sekitar 14 orang. Pada saat yang sama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ijin kepada Raafi’ bin Khadiij Radhiyallahu anhu karena dia ahli memanah juga memberikan ijin kepada Samurah bin Jundub karena dia lebih kuat dibandingkan Raafi’. Saat itu, usia keduanya juga sudah lima belas tahun. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ijin kepada mereka karena usia mereka yang sudah lima belas tahun, bukan karena kemampuan mereka.[10]

Pada malam ini, Dzakwân bin Abdil Qais senantiasa berjaga-jaga, bahkan ada yang mengatakan, beliau Radhiyallahu anhu tidak pernah meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

PELAJARAN DARI KISAH
Seorang pemimpin berhak untuk tidak memberikan ijin kepada anak-anak muda yang belum baligh dan tidak memiliki kemampuan untuk ikut berperang. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dan kawan-kawan beliau yang disuruh pulang karena masih terlalu belia.[11]

Maraji :
– as-Siratun Nabawiyah fi mashaadiril Ashliyyah
– Fiqhus siyar min Zâdil Ma’âd

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al Mustadrak, 3/25 dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahih. Imam Dzahaby menyepakati hokum beliau t ini. (al Maghaziy, karya al-Waaqidi, 1/219) – lihat as-Siratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashadiril Ashliyyah, hlm. 382.
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d pada dua tempat. yang pertama (2/39) tanpa sanad dan yang kedua (2/48) dengan sanadnya dan riwayat kedua inilah yang kita bawakan ini. Namun dalam sanadnya ada beberapa catatan, karena perawinya yang bernama Ibnu Khadasy, orangnya jujur tapi terkadang salah; perawi yang bernama Muhammad bin Amr, orangnya jujur tapi memiliki catatan; serta Ibnul Mundzir orangnya maqbul. Sanad yang memiliki catatatan ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain (syawâhid dan mutaba’at). – lihat as-siratun nabawiyyah fi dhau’il mashadiril ashliyyah, hlm. 382.
[3]. Kisah tentang orang-orang munafik yang membelot ini bisa didapatkan dalam shahih Bukhari, al-Fath, 15/232, hadits no. 4050.
[4]. HR Imam Bukhari, al-Fath, 15/232, no. 4050, lihat riwayat-riwayat tentang masalah ini dalam tafsir at-Thabari. beliau rahimahullah juga membawakan riwayat lain tentang sebab turun ini.
[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq secara mursal (Ibnu Hisyâm, 3/93).
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, al-Fath,5/233, no. 4051 dan Imam Muslim, 4/1984, no. 2505
[7]. Dua bangunan yang pada zaman jahiliyah ditempati oleh dua orang tua buta. Sehingga kedua bangunan ini dikenal dengan nama syaikhaan (dua orang tua).
[8]. Nama-nama mereka disebutkan oleh Ibnu Sayidin Nâs, ‘Uyûnul Atsar 2/7.
[9]. HR Imam Bukhâri, al-Fath, 15/276, no. 4097 dan Imam Muslim, 3/1490, no. 1868
[10]. Fiqhus siyar min Zaadil Ma’ad, hlm. 179
[11]. Fiqhus siyar min Zaadil Ma’ad, hlm. 190


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3897-perang-uhud-2.html